BERANI BERMIMPI
Erin, Ibu, 31 y.o
Awalnya adalah kemenangan pada sebuah lomba menulis essay PRENAGEN -AYAHBUNDA

SEPERTI BINTANG SENJA
Yang Dilihat
Kompas
Motret
Al-Watan
Detik
Ummi

Monday, December 12, 2005
GENDUL KOPI

Secara harfiah artinya adalah botol kopi atau botol yang berisi kopi, atau botol tempat kopi. Tapi di Solo, gendul kopi adalah sebutan untuk seseorang -biasanya seorang ibu- yang pekerjaannya membeli barang-barang bekas dari rumah ke rumah. Ada yang mengusung barangnya dengan sepeda, ada juga yang digendong dengan rinjing (bakul) besar.
ketika itu 1:54 PM | |
Wednesday, November 30, 2005
UNTUK APA SAYA PAKAI PITA MERAH?

Awalnya, saya hanya ingin membagi pita merah untuk disematkan di dada pada tanggal 1 Desember besok. Si Ini, si Itu, si Anu... Sederhana, saya hanya ingin mengajak mereka sejenak untuk ingat dan waspada pada ancaman bahaya HIV, AIDS. Sukur-sukur lantas peduli.
Saya memang bukan dari lembaga apapun, saya hanya seorang diri, hanya Erin, Erin pribadi. Dan saya peduli. Tidak salah kan kalau saya peduli terhadap bahaya AIDS, dan mencoba mengekspresikan kepedulian itu dengan menyemat pita merah di dada?
"Memang tidak," kata mereka. "Tapi...,"
Nah.. nah.. nah... kalau kata "tidak" masih berbuntut "tapi", itu belum berarti tidak.
Si Ini bilang, eh nanti saya tanya sama yang lain dulu ya... apa mereka juga pakai pita merah besok. Jangan-jangan cuma saya lagi yang pake, kan malu...
Si Itu bilang, memangnya saya harus takut? Kan hidup saya wajar-wajar saja. Sex behavior saya wajar, saya juga bukan pencandu yang gantian jarum suntik. Jadi saya nggak perlu takut sama AIDS. (saya cuma mengajak peduli, bukan menakuti... ah, orang yang aneh...)
Si Anu bilang, enggak ah, saya nggak mau pakai. Ntar dikira penderita lagee....
Dan kompak mereka bertanya,"Jadi kamu beresiko kena HIV ya, Rin?"
Pertanyaan yang hanya saya jawab dengan tawa. Sayang sekali saya tidak sempat menjelaskan lebih panjang kagi, lebih banyak lagi. Sudah keburu enek sama sikap mereka.
Peristiwa seperti ini juga pernah saya alami awal bulan Okober lalu ketika mencoba membagi pita merah jambu peduli kanker payudara.

Sisi baiknya, saya sedikit optimis kalau lingkungan saya, dan mereka itu, sehat. Dan sebenarnya meraka juga waspada. Semoga...

Besok saya akan menyematkan pita merah, mungkin seorang diri...
ketika itu 9:12 AM | |
Monday, November 28, 2005
MALIMPA DI HARI MINGGU

Sebelumnya....
26 November pagi
Sebuah pesan singkat menggetarkan handphone multifungsi berwarna oranye-abu-abu. Ouw, Om Don Hasman besok ke Malimpa UMS, sekarang sedang di Madiun. Info acara saya tanyakan pada sebuah nomor yang disertakan dalam pesan tadi. Ehm, saya dipanggil 'mas'. Untung tidak saya panggil 'Bang' Begitu kata pemberi info kemudian setelah bertemu.
Hi mas Koes! :D

Minggu 27 November, pagi
Tretet..! Sebuah pesan masuk lagi ke handphone multifungsi berwarna oranye-abu-abu.
Hari ini transtv jam 15: JELAJAH:badui luar. Apa kabar?
Terimakasih, Yah...

Menjelang siang...
Seorang laki-laki berbadan kecil menyalami saya dengan erat, menepuk pundak seperti ratusan kali sebelumnya.
"Apa kabar, Non? Yaelah.... kasian amat sekarang kurus... Eh, rambutnya tapi panjang ya. Waduh enak bener pake celana komprang begini ya..."
Ramai sapaannya masih seperti dulu. Wajahnya tidak bertambah tua seharipun sejak terakhir saya bertemu hampir empat tahun lalu. Om Don Hasman tidak berubah...
Lalu saya bergabung dalam lingkaran. Senang bertemu banyak kawan di Malimpa. Mas Koes, Mas Yoeis, Markus, Dwi... Dan lain-lain. Ada juga dokter baik hati dari Wonogiri yang punya rumah indah di tengah sawah. Bang Tri Prasetyo dari Wanadri, kawan seperjalanan Om Don... Bekali saya pelajaran survival lebih banyak, Bang...
Tidak bisa tidak. Riuh saya dan Om Don mencoba menelusuri lagi jalan lama yang mulai samar, merenda kembali waktu yang telah hilang.
"Iya, Non. Banyak itu temen-temen di Cibeo nanyain kamu kalo saya sedeng main ke sono. Ambu Icot yang paling sering, Eh eta si Erin kamana ya, Odon? Sekarang jauh, Ambu... harus naik pesawat dulu ke tempat yang banyak pasirnya. Eh, tahun depan Ayah Jahadi akan diangkat jadi Pu'un..."
Kerinduan saya mengharu biru. Om Don terus bercerita.
Tanah Kanekes seolah memanggil saya kembali. Perempuan-perempuan itu seakan mengajak saya untuk mandi bersama di kali. Anak-anak yang 7 tahun lalu saya bagi permen dulu, baru kemudian mata saya membidik mereka dari balik lensa.. ah, pasti mereka sudah besar sekarang...
Dan Karida... perempuan tangtu dari Cibeo... kisahnya memanggil saya untuk kembali mendengar dan berbagi...
Slide-slide yang diputar di ruang kuliah pada siang hari, dan halaman pendopo pada malam hari makin mencabut jiwa saya melayang sampai ke pegunungan Banten Selatan. Saya benar-benar merindukan tanah Kanekes, tanah Badui...
Ah, sayang sekali kawan-kawan Malipa tidak berhasil memindah TV pukul 3 sore untuk kami tonton bersama. Kawan-kawan juga ingin melihat jelajah, sekalian nanti diskusi tentang Badui. Ya sudahlah... surati saja Bang Wisnutama, dan minta putar ulang Jelajah edisi ini suatu saat.

Wah, ini dia! Pak Danang, tetangga balik tembok rumah dinas Bupati Sragen. Orangutan itu ingin saya gendong, Pak. Siap-siap saja saya sidak. Nanti oleh-olehi saya ular. Yang berbisa ringan saja... Secepatnya saya ingin ke Kali Samin. Goreng wader pari, menjangan guling... hmm... menggoda sekali... Hidup Pak Danang!!
Dan Eyang Syuro!! Sesepuh Bakorlak Emergency SAR UNS. Speechless... terlalu hebat orang ini untuk saya gambarkan. Duduk di ruang tamu anda, mendengar anda melepas rindu dengan Om Don setelah 17 tahun tidak bertemu... membicarakan rencana buku 20th perjalanan Bakorlak Emergency SAR UNS, dan menyimak buku biru 10th-nya yang beredar dari tangan ke tangan kawan-kawan di ruang tamu ini... air jeruk hangat, roti bakar gosong, pisang goreng manis...
Tapi mata saya hampir terkunci pada lukisan puluhan pintu dengan kubah dan bulan di atasnya, karya anda yang sudah lama. Sangat indah...

Sehari kemarin saya berada di salah satu sisi hidup saya yang benar-benar membuat saya "hidup". Memang saya harus kembali pada rutinitas keseharian saya, tetapi angan saya masih enggan beranjak. Bahkan hati saya masih tertinggal di Kanekes...
Alarm reminder di handphone multifungsi warna oranye-abu-abu menyuruh saya pulang.
"Hati-hati, Non. Ini sudah sangat malam,"
Om Don melepas saya dengan cara yang sama seperti ratusan kali sebelumnya.
"Nggak usah kuatir Om. Handphone saya multifungsi kok. Selain sebagai alat komunikasi, ini juga alat prlindungan diri. Orang jahat dilempar ini pasti benjol. Funsi lainnya juga bisa jadi ganjel pintu dan ngulek sambel..."
Saya acungkan Ericsson R 250s Pro yang sedang bergetar lagi.
Om Don hanya tertawa.
BTW, sekre MALIMPA adalah sekre pencinta alam paling rapi yang pernah saya temui!!
aduh om, kenapa masih mengabari saya tentang dia... iya saya sudah tahu dia menikah bulan lalu dengan orang ausie. tapi sudahlah...
Mending bantu saya berdoa saja, Om, semoga festifal Tambora itu jadi terlaksana, dan saya bisa melibatkan diri. Ssstt.... ini masih agak rahasia!
ketika itu 10:08 AM | |
Monday, November 21, 2005
SEKEDAR

Aku hanya sekuntum bunga kopi berkelopak tujuh
Daunku langu
Buahku langu
Dahanku langu
Tapi aku harum. Dan akan tambah harum di malam hari ketika angin meniup menggoyangkan dahanku. Wangiku semerbak dalam gelap. Di tengah ladang, di antara nyanyian jangkerik dan dengkuran babi hutan
Dua bulan yang lalu Pak Karmin mulai memeriksa buah-buah hijauku. Dan Bu Karmin menggelar tikar membuka rantang-rantang untuk makan suaminya. Sedangkan aku sudah berwarna kecoklatan kering diantara butir-butir kopi. Bulan depan buahku dipanen. Sekarang buahku mengalirkan aroma sedikit wangi karena kulitnya sudah mulai merah. Satu dua kuntumku masih terus ada... membuat malam semerbak, dan menarik luwak mengais buah di dahan rendahan.
Pagi-pagi Pak Karmin sudah mengangkut keranjang, dan Bu Karmin menggelar tikar membuka rantang-rantang untuk makan suaminya.
Enam bulan berikutnya aku sudah mulai bermekaran kembali. Daryati anak Pak Karmin memetik beberapa kuntum untuk dirangkai dan dijadikan kalung.
“Jangan dipetiki, Nak. Biarkan dia mengering menjadi emas dan makanan luwak. Nanti kubelikan kalung sungguhan...”
Daryati merengut, dan Bu Karmin menggelar lagi tikar membuka rantang-rantang untuk makan mereka bertiga.
Aku hanya sekuntum bunga kopi berkelopak tujuh.
ketika itu 11:40 AM | |
Thursday, November 17, 2005
LIDAH SAYA PENDEK

Saya pikir semua orang yang bisa bicara sempurna saat ini, sebelumnya pernah mengalami cadel. Khususnya untuk melafadzkan huruf "R".
Saya termasuk orang yang telat lepas dari cadel. Baru pada kelas dua SD saya bisa menyanyi ibu kita kaRtini, putRi sejati....dengan R yang sempurna getarnya. Sebelum saya bisa melafadz R dengan jelas, saya selalu malu untuk bernyanyi di depan kelas.
Lalu ibu saya mengajari saya untuk memilih lagu yang tidak ada huruf "R"nya. Anda tahu itu lagu apa?
Satu satu aku sayang ibu
Dua dua juga sayang ayah
Tiga tiga sayang adik kakak
Satu dua tiga sayang semuanya

Cuma lagu itu yang saya tahu. Jadinya ya... setiap kali disuruh maju menyanyi, lagu itu terus yang terlantun.
Belakangan saya denger dan liat di TV
pegang sana pegang sini
jalan sana jalan sini
injak sana injak sini
ngga takut lagi
kumannya sudah mati....

Nah... kalau nanti anak saya juga mengalami problem yang sama dengan saya, mungkin lagu ini bisa diajarkan.

Tapi benarkah orang cadel itu berlidah pendek?


ketika itu 2:15 PM | |
Saturday, October 29, 2005
Orang terkasih itu masih terbaring. Demam Berdarah...
Mohon doa untuk kesembuhannya....
ketika itu 6:59 PM | |
Tuesday, October 04, 2005
"SURKUMUR MUDUKUR" DAN "PLEKENYUN"

Apa itu?
Ya, seperti itulah gaya Arswendo Atmowiloto. Dia dapat dengan seenaknya menamakan sesama rekannya di dalam penjara (waktu itu) dengan sebutan "Surkumur Mudukur", dan menyebut orang-orang non-tahanan (yang berhubungan dengan tahanan) sebagai "Plekenyun"
(Baca: Menghitung Hari I dan Menghitung Hari II Karya Arswendo Atmowiloto)

Kalau mengikuti gaya kang Arswendo, maka saya adalah Plekenyun. Ya, Plekenyun. Karena saya bukan tahanan, tapi berhubungan dengan tahanan. Saya bukan pegawai atau sipir penjara. Saya Plekenyun. Hanya Plekenyun. Bukan karena kebetulan tempat tinggal saya ada di belakang Penjara kota Solo, dan saya sarapan dengan menu yang sama dengan para sipirnya di kantin penjara.Bukan. Melainkan karena saya seorang makelar.
Makelar? Ya. Saya menjadi makelar seorang pejabat kaya yang karena awalnya hanya menumpahkan 'lengo pet' ke laut Cilacap akhirnya menjadi Surkumur Mudukur di Polda Jawa Tengah. Menumpahkan minyak adalah awalnya, dan selanjutnya ternyata Surkumur ini juga menimbun dan menyelundupkan barang yang ditumpahkannya itu.
Jangkrik! Saya panas-panasan antri bensin di pompa bensin, Surkumur malah bermain-main dengan emas hitam itu.
Lalu selama Surkumur minyak "wiridan" (wira-wiri koyo wong edan) di tahanan Polda, saya makelaran lagi dengan orang terhormat sang wakil rakyat. Dan menjelang semuanya seharusnya berjalan dengan damai dan saling menguntungkan, sang wakil rakyat malah kena grebeg di hotel tengah kota ketika iseng main kartu pake duit dengan kawan-kawannya yang juga orang terhormat coblosan rakyat. Jadilah sang wakil rakyat ini Surkumur Mudukur di Polres Setempat.
Hwadoooohh!!! Keruh reprutasi saya di mata sesama makelar. Secara kebetulan dan beruntun dua orang yang saya makelari masuk penjara! Aliran upah saya sebagai makelar jadi tersendat. Selama beberapa waktu kawan-kawan mengolok-olok dan mengatakan saya 'temannya kriminal'
Lalu... saya mulai mencari lagi orang yang ingin saya makelari. Ketemu. Proses Berjalan. Setengah jalan saya kehilangan kontak... Sulit mencarinya. Terakhir saya dengar selentingan, beliau juga harus berurusan dengan polisi dan penjara.
Tobaaaattt... Duh Gusti..... Haruskah tiga kali?
Mendengar ini kawan-kawan saya sudah tidak tertawa dan mengolok lagi. Mereka mulai menasehati saya macam-macam untuk memperbaiki nasib. Dari mulai menyuruh saya pindah tempat tinggal, ruwatan, mandi kembang, sapai berhenti menjadi makelar.
Entahlah, entahlah... sekarang saya hanya ingin ngeblog dan menyadarkan diri atas ke-Plekenyun-an saya ini.
Sudahlah, sudahlah... yang masuk penjara itu kan tidak hanya tiga orang. Saya hanya kebetulan saja berhubungan dengan mereka. Orang di dunia kan tidak hanya mereka bertiga, nanti saya juga kan bisa bertemu orang lain lagi yang bukan Surkumur Mudukur, maupun calon Surkumur Mudukur.

Kabar terakhir, Surkumur Mudukur wakil rakyat itu sekarang sudah menjadi tetanggaku di penjara depan itu, berarti sudah ketok palu, berarti sudah tinggal menunggu waktu untuk bisa bebas. Semoga tidak lama lagi... Semoga insyaf...
Lalu Surkumur Mudukur minyak itu, hari ini ketok palunya (lama sekali pemeriksaanya). Semoga mendapat putusan terbaik dari pak Hakim. Semoga tidak lama untuk menunggu waktu bebas... Semoga insyaf...
Yang terakhir saya belum tahu kabarnya. Semoga baik... Semoga insyaf...

Kalau saya pikir-pikir sekarang, menjadi makelar seperti saya ini seperti mencebur ke kolam ciu, kolam minuman keras. Bisa asik berenang-renang sambil minum dan mabuk. Tapi harus berhati-hati, karena berenang sambil mabuk resikonya adalah tenggelam dan mati. Ah, saya ingin berenang perlahan-lahan saja. Kalaupun ciunya harus terminum, ya jangan banyak-banyak supaya tidak sampai mabuk. Kalau bisa jangan minum. Icip-icip saja mungkin yang sudah membasahi bibir (dan badan tentu). Lalu mungkin saya akan berenang mencari tepian, untuk selanjutnya mentas keluar dari kolam dan berjalan di daratan.

Oh iya, besok puasa. Selamat berpuasa. Mohon maaf Lahir dan Batin
ketika itu 10:59 AM | |

Unauthorized public copying is prohibited and is a violation of applicable laws. erin © 2004-2005

Yang Lalu
  • February 2004
  • March 2004
  • April 2004
  • August 2004
  • September 2004
  • December 2004
  • January 2005
  • June 2005
  • August 2005
  • September 2005
  • October 2005
  • November 2005
  • December 2005


  • Kawan


    Editor
    1024 x 768 untuk tampilan terbaik
    Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com